Jepang sendiri sebagai salah satu negara dengan teknologi visualisasi grafis paling maju menjadi salah satu produsen sekaligus konsumen produk-produk yang erat hubungannya dengan dunia animasi dan visualisasi saintifik. Perusahaan yang bergerak di bidang animasi amat sangat banyak, salah satu yang cukup terkenal adalah Omnibus Japan (post processing house untuk Naruto Shippuden dan Evangelion, yang juga telah kami kunjungi seminggu sebelumnya). Pangsa pasar itu tak disia-siakan oleh para peneliti di universitas-universitas Jepang. Mereka berlomba-lomba untuk menemukan teknik kreatif yang nantinya bisa diadopsi oleh perusahaan-perusahaan itu untuk dimasukkan dalam proses produksi.

Selain itu, mereka juga mencari 1001 jalan supaya para murid yang lulus dari universitas itu bisa diterima di perusahaan-perusahaan mereka. Kondisi ini tentu didukung oleh sistem di perusahaan Jepang yang ‘pede’ dengan proses R&D (research and development) dalam negeri, sesuatu yang mungkin masih jarang ditemui di perusahaan Indonesia. Kerja sama dengan universitas, selain biaya yang dibutuhkan lebih murah dibandingkan dengan membuka laboratorium R&D sendiri, proses dan durasi riset bisa dipercepat dari riset jangka menengah (5-10 tahun) menjadi riset jangka pendek (2-5 tahun).

Gb 2. Parallel digital canvas di Chuo University

Lalu, bagaimana universitas bisa menjalin hubungan yang ‘mesra‘ dengan perusahaan, khususnya menjalin kerja sama di bidang riset? Memang tidak mudah. Tapi hari ini saya sedikit belajar hal tersebut melalui VR kenkyuukai di Universitas Chuo. Jika menjalin kerja sama sendiri dirasa mengeluarkan terlalu banyak biaya, mengapa tidak dibentuk saja konferensi rutin dengan tempat konferensi bergilir ? Konsepnya mirip “tadarusan kampung”, yang dulu pernah kami kelola bersama rekan-rekan pemuda kampung. Muter saja di tempat anggota tadarusan, dan setiap giliran tuan rumah, mereka mendapatkan jatah cuap-cuap kultum serta berhak untuk menyediakan jamuan makan kepada para tamu. Masalah dana, ditanggung dari kas bersama masing-masing anggota tadarusan.

Konsep sederhana ini diadopsi juga oleh para professor yang bergabung dalam asosiasi peneliti VR di Jepang. Dan hari ini, saya melihat sendiri, bagaimana mereka mampu menggandeng industri-industri grafis di Jepang untuk hadir di ruang kelas kecil di sebuah universitas. Mereka tak sungkan masuk berbondong-bondong dan berbaur bersama para murid, karena mereka sangat antusias dengan presentasi para murid. Mereka pun bertingkah bak para pencari bakat, mencatat nama setiap murid dan judul presentasi para murid. Tak lupa mengajukan pertanyaan, yang justru lebih banyak dijawab oleh para professor-nya dibandingkan muridnya 😀 . Ya, konferensi kecil-kecilan ini begitu berarti untuk para lulusan S1 dan S2, karena di sanalah mereka ‘unjuk kekuatan’ kepada para ‘pencari bakat’ yang datang secara langsung. Hanya para siswa unggulan saja yang boleh ikut mengisi ‘kultum’ di sini.

Gb 3. Mini CAVE di Chuo University. Dengan peralatan minimal, memberikan pengalaman virtual yang optimal

Salah satu fondasi rutin dari aktivitas ini sepertinya komitmen asosiasi dosen dan industri itu sendiri. Saya tidak terlalu tahu, sejauh mana MoU dan bagaimana mereka bisa “mengikat dan memikat” pihak industri untuk hadir langsung di ruang kelas yang tak terlalu lebar itu. Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan pembimbing saya, para sensei yang memiliki kesamaan bidang penelitian itu rutin mengadakan acara nomikai (minum-minum bersama) dan ngobrol santai tanpa beban (di dalam sake ada kejujuran – kata seorang rekan). Sebuah budaya Jepang yang mungkin bisa diadopsi dalam bentuk lain yang lebih ‘aman‘ di Indonesia dengan konsep yang sama, “pertemuan informal, tapi tetap dalam kerangka kerja sebagaimana pertemuan formal”. Dari hasil nomikai inilah, biasanya ide-ide kegiatan muncul dan terjadi sharing antara para sensei, antara professor yang lebih senior kepada professor yang lebih junior, dan seterusnya. Termasuk bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan para pelaku industri.

Gb 4. Para profesor sedang memainkan large format display dari Samsung yang dipamerkan di Kenkyuukai. Yang unik dari alat ini adalah memungkinkan adanya interaksi dari multi-user

Kembali ke VR kenkyuukai, acara selingan yang tak kalah menarik, selain ‘audisi mencari bakal calon pegawai perusahaan dari para lulusan S1 dan S2, serta ide penelitian yang cocok untuk diterapkan di industri’, adalah touring ke lab-lab yang berhubungan erat dengan bidang penelitian tersebut. Beberapa ide penelitian yang cukup menarik, motion capture dengan wireless motion sensor (WMS) dan biosignal.

Anda pernah melihat proses pembuatan film Avatar ? Bagaimana bisa tokoh animasi dalam film tersebut bergerak begitu halus layaknya gerakan manusiaJawabannya, dengan memberikan sentuhan human motion pada animasi tersebut, secara langsung. Biasanya, teknik motion capture menggunakan multicamera dan multisensor yang menempel pada tubuh pemeran / aktor. Kali ini, marker-marker yang menempel tersebut digantikan oleh WMS dan gerakan-gerakan tersebut diterjemahkan dari biosignal saat bagian tubuh berpindah posisi. Dari sanalah dihasilkan animasi objek 3D yang langsung dihasilkan dari gerakan manusia.

Gb 5. Penelitian motion capture dengan Wireless Motion Sensor. Pemakai menggunakan alat di bagian lengan, kemudian melakukan gerakan-gerakan yang akan dideteksi oleh sensor, terutama gerakan tangan. Visualisasi dilakukan dengan menerjemahkan sinyal dari sensor ke gerakan dalam koordinat 3D.

Selain itu, beberapa penelitian memanfaatkan visualisasi 3D ditampilkan, seperti simulasi efek tsunami pada perumahan dan penelitian tentang sudut pandang pejalan kaki terhadap suara mobil yang bergerak di jalan raya. Penelitian kedua sangat menarik, karena Jepang memasang peredam suara disekitar jalan raya supaya para penghuni rumah di sekitar jalan tersebut tidak terganggu dengan keributan mobil di jalan. Sayangnya, pemasangan tersebut tidak melalui proses pengkajian yang mendalam dari sudut pandang pejalan kaki atau penghuni rumah yang berada di sekitar jalan raya tersebut. Nah, visualisasi 3D digunakan untuk melihat seberapa besar efek noise dari mobil terhadap daerah sekitarnya, sehingga jenis peredam pun bisa disesuaikan dengan seberapa besar noise dari kendaraan tersebut.

Gb 6. Visualisasi efek dari tsunami dengan menggunakan HoloStage, yang diproduksi oleh Christie

Masih banyak beberapa penelitian menarik, meski tidak secara langsung berhubungan dengan dunia teknologi informasi. Mungkin, manajemen ego dan konsistensi juga menjadi salah satu kunci untuk suksesnya pertemuan rutin yang sudah berjalan selama 51 tahun itu. Bukan hal yang sederhana, tapi kita bisa belajar dan memulainya!

Catatan:
(1) Website resmi CAVE-Ken : http://www.idolab.sakura.ne.jp/IDOLAB/caveken/cave-meetings.html
(
2) Website resmi Computer Engineering / Information Engineering Chuo University: http://www.chuo-u.ac.jp/chuo-u/science_subject08/index_j.html