1. Micro Saccade (durasi 10 – 30 ms)
  2. Glissade / post saccade (durasi 10 – 40 ms)
  3. Saccade (durasi 30 – 80 ms)
  4. Smooth Pursuit (pelan, kecepatan 10 – 30  deg/ s)
  5. Fixation (saat melihat / mengamati objek, durasi 200-300 ms)

FS diukur dalam satuan Hertz (Hz). Sebagai contoh, jika dalam spesifikasi eye tracker tertulis FS 50 Hz, eye tracker tersebut mampu merekam arah pandangan dan posisi mata kita 50 kali dalam satu detik. Meskipun terdengar cukup reliabel, sebuah eye tracker dengan FS 50 Hz tidak dikategorikan sebagai eye tracker berkecepatan tinggi.

Lalu, eye tracker yang bagaimanakah yang sebaiknya kita gunakan? Kita bisa menggunakan teori sampling Nyquist-Shannon yang menyatakan: frekuensi sampling setidaknya dua kali lebih besar dari frekuensi yang kita rekam. Dengan kata lain, jika kita ingin merekam gerakan tremor dengan frekuensi 150 Hz, kita membutuhkan FS 300 Hz. Semakin cepat gerakan mata, semakin tinggi FS yang dibutuhkan untuk merekamnya.

Bagaimanakah klasifikasi eye tracker berdasarkan frekuensi sampling-nya? Ada enam kategori eye tracker:

  • Frekuensi 25 – 30 Hz : banyak dijumpai pada eye tracker berbiaya rendah yang menggunakan web camera sebagai salah satu komponen penyusunnya. Di sisi lain, beberapa produk komersial juga menggunakan frekuensi ini, terutama eye tracker dengan kamera digital berbasis video PAL (Eropa) atau NTSC (Amerika).
  • Frekuensi 50 – 60 Hz : sebagian besar eye tracker yang dijual secara komersial menggunakan frekuensi ini sebagai frekuensi sampling standar karena frekuensi inilah yang banyak dijumpai pada teknologi kamera yang beredar di pasaran saat ini.
  • Frekuensi 120 Hz : bagi mereka yang menginginkan sampling data dengan kecepatan yang lebih tinggi, frekuensi ini bisa digunakan. Berdasarkan pengalaman penulis, kita bisa membuat eye tracker dengan frekuensi 120 Hz dengan memanfaatkan kamera Sony Playstation Eye Camera.  Ada dua buah paper yang terbit di jurnal dan conference internasional, yang membahas aplikasi eye tracker dengan menggunakan kamera game komersial berkecepatan tinggi ini [2 – 3].
  • Frekuensi 250 Hz : digunakan oleh produk komersial, salah satunya adalah SMI EyeLink versi pertama (sampai dengan tahun 1990an). Saat ini SMI EyeLink sudah mengeluarkan produk terbaru yang mendukung FS sampai dengan 500 Hz.
  • Frekuensi 500 Hz :  memasuki tahun 2000, teknologi sampling pada video kamera digital semakin berkembang. Salah satu perusahaan yang menyediakan eye tracker dengan frekuensi ini adalah SMI, dengan produk EyeLink II.
  • Frekuensi 1000 – 2000 Hz : Pada tahun 2010, produk-produk eye tracker komersial menyediakan kamera berteknologi tinggi dengan kecepatan sampling di atas 1000 Hz. Sebelumnya, hanya teknologi eye tracker dengan metode “dual-purkinje” saja yang menyediakan frekuensi sampling di atas 1000 Hz.

Satu hal yang perlu dicatat adalah: semakin tinggi frekuensi sampling yang diinginkan, teknologi pencahayaan infra merah yang digunakan pun harus semakin canggih karena satu buah sampel citra diperoleh dengan waktu yang teramat singkat (sebagaimana konsep “shutter” dan “ISO” pada kamera digital). Tak heran, eye tracker dengan frekuensi sampling tinggi dibandrol dengan harga yang amat mahal. Faktor harga inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu munculnya ratusan penelitian bertema “low cost eye tracker” – pengembangan eye tracker berbiaya rendah dengan performa yang tak jauh berbeda dari produk komersial.

Referensi:

[1] Holmqvist, Kenneth, Marcus Nyström, Richard Andersson, Richard Dewhurst, Halszka Jarodzka, and Joost Van de Weijer. Eye tracking: A comprehensive guide to methods and measures. Oxford University Press, 2011. Lihat abstrak.

[2] Abbott, W. W., and A. A. Faisal. “Ultra-low-cost 3D gaze estimation: an intuitive high information throughput compliment to direct brain–machine interfaces.” Journal of neural engineering 9, no. 4 (2012): 046016.

[3] Swarts, Matthew, and Jin Noh. “Ultra Low Cost Eye Gaze Tracking for Virtual Environments.” In Virtual Augmented and Mixed Reality. Designing and Developing Augmented and Virtual Environments, pp. 94-102. Springer Berlin Heidelberg, 2013.