*Artikel asli dimuat di FB Page Dr. Sunu Wibirama*

Saat-saat mendekati ujian akhir semester begini, para mahasiswa biasanya mulai sibuk mencari dosennya, menanyakan slide kuliah, modul kuliah, dan lain-lainnya. Dosennya juga pura-pura sibuk, kadang telat menjawab, kadang malah menjawab, “Lho di buku kan sudah ada, ‘ngapain pakai slide?”. Bahkan ketika ada mahasiswa yang sangat tertarik dengan materi kuliah, sang dosen menjawab lagi, “Kok tidak di kelas tanyanya? Ini ‘kan di luar kelas. Saya punya pekerjaan lain”.

Salah satu kegiatan seminar kami di lab bersama salah seorang rekan dosen. Grup riset kami beranggotakan adik-adik mahasiswa yang memiliki rasa ingin tahu sangat tinggi. Semua bermula dari belajar di kelas, berujung di lab. Membangun rasa ingin tahu (curiosity) itu penting, sangat penting. Dengannya, inovasi akan tercipta.

Pendidikan tinggi kita tidak mencerdaskan karena memang sistem di negara kita tidak dibuat untuk menjadikan seseorang itu cerdas. Sistem keuangan di negara kita tidak dibuat untuk fleksibel terhadap inovasi, bahkan untuk membiayai lembaga yang core business-nya adalah “learning and innovation”, sistem keuangan kita masih sangat kaku. Sistem kita malah dibuat untuk sekedar memenuhi tuntutan luaran yang tercantum di Standar Biaya Umum (SBU) atau rancangan anggaran, or whatever you name it. Hal ini — maaf — menjadi penyakit bawaan di universitas-universitas terkenal besutan pemerintah. Mau contoh nyata?

Berapa biaya yang diperlukan untuk memenuhi curiosity (rasa ingin tahu)? Nol, karena rasa ingin tahu itu tidak ada SBU-nya. Jika mau dibiayai harus ada barangnya dan harus membeli barang. Bagaimana dengan mereka yang risetnya matematika murni? Apakah cukup dibelikan kertas dan pensil?

Berapa biaya yang dikeluarkan jika dalam satu kelas ada lebih dari dua asisten kuliah? Misal: asisten yang satu fokus pada ujian-ujian (assessment), sementara yang satunya lagi sibuk mempersiapkan “perangkat demonstrasi” atau “studi kasus” riil yang terkait dengan kuliah. Nol, karena jarang ada kuliah dengan anggaran pembiayaan asisten lebih dari satu orang. Kalaupun ada, tentu “disiasati dengan SBU yang lain” alias berbohong. Dosen seharusnya sibuk menyiapkan kuliah yang menarik, bukan sibuk menyiasati SBU.

Berapa biaya yang dibutuhkan untuk membeli “teaching devices” atau alat peraga yang itu berguna di kelas? Saya tidak tahu, tapi saya rasa nol juga di kebanyakan universitas. Apalagi untuk urusan mengganti kursi, meja, cat kelas, dan perangkat di dalam kelas supaya lebih “fleksibel” dan mendukung konsep flipped learning, diskusi kelompok, atau kelas-kelas yang interaktif. Saya kira para pengurus universitas akan puyeng tujuh turunan memikirkan ini. Mungkin harus menunggu tahun anggaran baru, dan mahasiswa yang diajar sudah lulus saat kelas itu selesai diperbaiki dan teaching devices-nya terbeli.

Berapa biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki kemampuan dosen (bringing the professors to the next level) dengan memberikan keleluasaan dosen-dosen untuk mengakses buku-buku “non-textbook”, buku-buku kontemporer, mengikuti training pedagogi di luar negeri, dan masih banyak lagi? Saya melihat di beberapa universitas sudah ada, tapi sebagian besar universitas tidak memikirkan hal ini. Nol. Bahkan saya belum melihat ada universitas negeri yang khusus mendirikan “training center” untuk para dosen supaya kualitas mereka terus meningkat (correct me if i am wrong).

Akibat keterbatasan-keterbatasan ini, mustahil muncul inovasi dalam delivery atau cara mengajar, atau bahkan peningkatan ilmu dari para dosen. Akibatnya hampir pasti, pendidikan tinggi kita ketinggalan. Terseok-seok. Hampir semua rekan dosen yang saya kenal pasti mengatakan “malas mengubah slide presentasi-nya” atau “malas membaca buku baru” untuk kuliah-kuliah yang ia ajar. Mengapa bisa begitu? Bukankah core business universitas adalah belajar? Do we get paid for learning and teaching what we have learnt? What’s wrong? Parahnya lagi, beberapa dosen marah-marah jika ada mahasiswa yang bertanya materi kuliah di luar kelas. Really, that behavior kills innovation. Bagaimana kita mau menyuruh mahasiswa kita untuk baca textbook, kalau kita sebagai dosen juga malas? Jangankan membaca, kepikiran saja tidak pernah!

Saya ingin sedikit bercerita, bahwa mengajar itu butuh dedikasi. Dari mana datangnya dedikasi? Dari passion. Galileo Galilei mengatakan, “Passion is the genesis of genius”. Jika Anda memiliki passion pada suatu bidang, Anda rela untuk mati-matian belajar, mengulik bidang tersebut, sampai hal tersebut menjadi satu keunggulan Anda. Anda menjadi seorang yang ahli di bidang itu. Saya belum melihat ada sebuah upaya sistematis dari pemerintah untuk menumbuhkan dan memupuk “passion” mengajar para dosen, sehingga apa yang kita lihat sekarang adalah pendidikan berbasis “income” (maaf ini sekedar “joke” saja, kalau income-nya kecil jangan berharap kualitas dosen se-level Oxford University).

Lalu apa solusinya? Saya tidak tahu dan merasa tidak harus memikirkan solusinya karena saya tidak dibayar untuk itu. Ada orang lain se-level rektor, dirjen, atau menteri yang sudah digaji oleh negara untuk berpikir tentang itu. Meski demikian, saya ingin sedikit bercerita apa hal-hal praktis yang saya lakukan. Saya tetap berusaha berdedikasi dengan cara saya sendiri. Bentuknya sederhana, tapi selama 10 tahun lebih saya mengajar mahasiswa, hal-hal di bawah ini saya lakukan:

1. Beri kebebasan dan ruang pada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, misal: menentukan sendiri tipe tugas untuk mereka (grup / individu), menentukan sendiri pengurus kelasnya, menentukan sendiri kelompok grup diskusinya. Dengan demikian, ada “sense of belonging” pada kuliah yang mereka hadiri. Hadir kuliah itu kebutuhan, bukan paksaan. Kita tumbuhkan bahwa kuliah itu kebutuhan mereka dan menghadirkan partisipasi mereka untuk “mengatur kelas” menjadi salah satu cara.

2. Saya selalu mulai kuliah dengan pertanyaan: “Apa kalian tahu manfaat dari mata kuliah ini dan di mana kira-kira Anda akan menggunakannya?” Kita tidak sedang bicara filosofi ilmu yang muluk-muluk, tapi kita sedang menghubungkan sesuatu yang abstrak (materi kuliah) dengan sesuatu yang mereka jumpai dalam hidup mereka dan “tangible” (aplikasi, implementasi dari kuliah, pekerjaan yang menggunakan ilmu dari mata kuliah tersebut). Dengan begitu, mereka memiliki “aim” / “goal” yang lebih besar daripada sekedar dapat A atau B di nilai mereka. Simon Sinek dalam buku “Start with WHY” mengatakan, “You have to give them WHY before explaining HOW and WHAT they should do”. Saya ingin memberikan WHY factor kepada anak-anak di kelas saya, sehingga mereka tergerak untuk belajar bukan karena ujian akhir semester.

3. Tips berikutnya: saya banyak membawa alat lab, sensor, dan berbagai “prakarya” lain ke kelas. Motivasi saya sebenarnya lebih tinggi dari sekedar menciptakan “exciting class”. Saya melakukan rekruitmen untuk tim riset. Tim riset kami di lab diisi oleh mahasiswa yang “highly motivated”. Saya butuh orang-orang yang mau diajak “lari” untuk belajar pengetahuan baru. Siap menjawab email dan responsif jika diajak diskusi riset. Bekalnya? Dasar keilmuan cukup, tidak usah terlalu jenius, tapi mau melakukan riset dan “driven by passion and curiosity”. Kalau dilempar umpan “problem penelitian” di kelas, merekalah yang pertama kali berbinar matanya dan mengacungkan jari untuk bertanya.

4. Saya mengajarkan ke para mahasiswa untuk tidak langsung percaya dengan semua omongan saya di kelas. Bahkan beberapa kali saya menantang mereka untuk menyanggah saya. Saya ingin mereka belajar berpikir, tidak hanya membaca. Saya bukan termasuk dosen yang merasa “jatuh harga dirinya” jika ada mahasiswa yang kritis (asal sopan) di kelas. Justru anak-anak seperti inilah yang akan saya rekrut di tim riset.

5. Membangun rasa ingin tahu (curiosity) bisa dilakukan jika kita bisa mengambil benang merah antara materi kuliah dengan materi-materi riset. Saya banyak menyisipkan slide-slide hasil skripsi dan thesis kakak-kakak kelas. Saya tunjukkan manfaat dari satu materi kuliah. Misalnya, saat belajar correlation coefficient dalam statistika, saya akan tunjukkan skripsi yang memanfaatkan teknik “Template Matching” dalam tugas akhir bertema pengolahan citra.

Sekali lagi, itu lima cara yang saya lakukan. Saya tidak tahu dan belum mengukur secara kuantitatif apakah tips-tips seperti ini bisa memperbaiki kualitas pengajaran di kelas yang saya ampu. Mumpung Pak Menteri Nadiem Makarim adalah salah satu menteri yang mewakili generasi milenial, saya berharap beliau punya ide-ide cerdas untuk mengatasi hal-hal seperti ini. Ide saya mungkin tidak cerdas dan tidak meningkatkan kualitas pendidikan tinggi secara umum, tapi setidaknya saya memiliki “way out” untuk membuat kelas saya lebih berarti bagi adik-adik mahasiswa.

NB: Kalau tulisan ini mewakili suara hati rekan-rekan, silahkan dibagikan ke kolega lain. Perubahan besar dimulai dari aksi kecil dan kepedulian kita. Bisa jadi aksi kecil kita membawa perbaikan untuk masa depan pendidikan tinggi kita.

Jogja, 26 November 2019
Sunu Wibirama
Universitas Gadjah Mada