Archives for Eye Tracking

Dr. Sunu Wibirama
*Universitas Gadjah Mada
*Mantan santri kalong madrasah diniyah Margo Rahayu /
PP. Al Munawwir Krapyak, Jogja

Analogi ushul fiqih dan fiqih dalam konteks machine learning.

Saya merasakan berbagai perdebatan agama di kalangan awam akhir-akhir ini muncul karena mereka tidak mengerti bagaimana proses terjadinya atau keluarnya hukum fiqih atas sebuah kasus. Sebagai seorang peneliti dengan latar belakang teknologi informasi, akan lebih mudah menjelaskan konsep fiqih dan ushul fiqih dalam konteks machine learning — sebuah cabang bidang ilmu kecerdasan buatan (AI) yang berfokus pada pengembangan metode komputasi untuk menciptakan komputer yang dapat belajar secara otomatis dan meniru kecerdasan manusia tanpa harus secara eksplisit diprogram oleh manusia.

Saya mencoba menganalogikan ushul fiqih sebagai ”algoritma machine learning”, fiqih itu sebagai “model matematis yang sudah di-training”, sumber rujukan ushul fiqih sebagai “data latih” atau training set, kasus baru sebagai “data uji” atau testing set, dan hukum fiqih yang lima (wajib, haram, mustahab/sunnah, mubah, makruh) sebagai “kelas” atau “kategori”.

Saat kita menggunakan metode ushul fiqih yang berbeda, bisa jadi hasil hukum fiqihnya sama, bisa jadi berbeda. Kewajiban ibadah shalat fardhu lima waktu adalah contoh kasus paling mudah adanya kesepakatan seluruh mazhab fiqih. Meski demikian, beberapa kasus baru bisa juga memiliki hukum fiqih berbeda antara satu mazhab fiqih dengan yang lainnya.

Misalnya, memahami posisi hukum fiqih dari seorang makmum yang membaca Al Fatihah di shalat jama’ah. Satu mazhab bisa mengatakan hal itu sunnah atau bahkan sangat dianjurkan, mazhab yang lain mengatakan makruh. Mengapa demikian?

Bisa jadi masing-masing mazhab fiqih memiliki cara pandang yang berbeda saat melihat data latih (baca: kasus dan dalil dari qur’an, hadits, qiyas, ijma, dan bahkan kebiasaan penduduk di wilayah tertentu).

Masing-masing mazhab memiliki “bobot” (prioritas) yang berbeda untuk menimbang kontribusi dari masing-masing data mentah tersebut. Tentu hasil model matematisnya (baca: fiqih) berbeda dan menghasilkan hukum fiqih berbeda pula.

Ada dalil yang secara substansi mewajibkan pembacaan Al Fatihah sebagai rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan seorang muslim dalam kondisi apapun. Ada juga dalil lain yang menyatakan bahwa ketika Al Quran dibacakan, seorang muslim wajib mendengarkan. Lalu, bagaimana jika kasusnya dalam shalat jama’ah? Apakah kita sebagai makmum harus membaca Al Fatihah? Sementara dalil Al Quran sangat tegas untuk memerintahkan kita mendengarkan bacaan Al Quran?

Di sinilah Anda butuh metode untuk melakukan klasifikasi hukum fiqih: bagaimana hukum membaca Al Fatihah bagi seorang makmum? Apakah mustahab dan dianjurkan, atau apakah makruh? Lalu, apakah mereka yang menghukuminya makruh adalah sesat, atau sebaliknya apakah yang menghukuminya sebagai mustahab adalah sesat?

Maka, seorang muslim yang berdedikasi perlu belajar sampai paripurna sebelum mengeluarkan fatwa agama.

Apalagi jika ia adalah seseorang yang dianggap sebagai ustadz dalam jama’ah pengajiannya. Bisa jadi ia baru mempelajari satu algoritma machine learning saja (satu metode ushul fiqih berikut fiqihnya), dan tidak melihat algoritma yang lain. Padahal bisa jadi kalangan yang lain menggunakan algoritma yang berbeda. Pada satu kasus, beberapa kaidah ushul fiqih berikut fiqihnya bisa dipakai dalam kondisi tertentu dan ternyata menjadikan ibadah lebih mudah dilaksanakan.

Misalnya, jika seseorang menggunakan fiqih mazhab Syafi’i yang menghukumi batalnya wudhu seorang laki-laki ketika menyentuh kulit perempuan, baik dengan/tanpa syahwat, dalam kondisi sedang thawaf, tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi jama’ah haji. Maka, beberapa jama’ah haji mengambil pendapat mazhab Hanbali yang mengatakan batalnya wudhu terjadi jika disertai syahwat. Apakah lalu orang yang mengambil pendapat berbeda tersebut menjadi sesat? Tentu tidak, bukan?

Dalam riset machine learning, kita boleh mengambil satu algoritma terbaik di antara beberapa algoritma lain. Tapi ada kaidah yang harus diingat: algoritma itu unggul untuk kasus (testing set) tertentu. Algoritma Support Vector Machine (SVM) bisa unggul dari algoritma lain saat kasus pengenalan wajah, misalnya. Tapi pada kasus pengenalan tulisan tangan, bisa jadi algoritma Naive Bayes (NB) yang lebih unggul.

Ushul fiqih dan fiqih pun demikian. Semuanya adalah ikhtiar dan produk ijtihad intelektual dari para ulama’ kita untuk mendekatkan ummat Islam pada perintah Rasulullah SAW. Masing-masing metode ushul fiqih dan fiqih akan memiliki perbedaan dan ciri khas tertentu.

Bagi orang awam, akan lebih pas jika kita banyak belajar, mencari tahu, memahami, dan tidak sembarangan memberi fatwa hukum fiqih. Bagi ulama’, penting kiranya berlaku adil menunjukkan berbagai variasi metode ushul fiqih yang ada, berbagai perbedaan hukum fiqih pada sebuah kasus, dan mengapa secara pribadi ia mengambil sikap (memilih) hukum tertentu untuk sebuah kasus — tanpa merendahkan ulama lainnya. Hal ini akan lebih bermanfaat daripada menyerang ulama lain yang berbeda pendapat dengan sebutan-sebutan yang kurang pas didengar oleh masyarakat awam.

Hal terakhir yang perlu diperhatikan juga, fiqih harus relevan sepanjang zaman.

Metode ushul fiqih tersebut harus teruji untuk kasus-kasus baru yang belum pernah ada di zaman Rasulullah. Kasus keributan seputar hukum cryptocurrency (if you know what I mean) atau digital wallet misalnya, adalah contoh sederhana bagaimana pemahaman terhadap variasi metode ushul fiqih itu diperlukan.

Algoritma machine learning (ushul fiqih) yang baik biasanya akan tangguh menghadapi kasus baru. Algoritma ini mampu mengambil keputusan untuk kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan akurasi tinggi. Dalam terminologi machine learning, model matematisnya mampu melakukan generalisasi dengan baik (good fit) — tidak overfitting (terlalu kaku, saklek) dan tidak pula underfitting (terlalu bebas, liberal).

Demikianlah konsep Islam yang benar: pertengahan (wasathiyyah), tidak ekstrim dan tidak juga terlalu bebas dalam beragama.

Semoga menginspirasi.

Tabik,
Jogja, 17 Mei 2024

Bahan bacaan:
1. Kelleher JD, Mac Namee B, D’arcy A. Fundamentals of machine learning for predictive data analytics: algorithms, worked examples, and case studies. MIT press; 2020 Oct 20. Informasi terkait buku bisa dicek di sini.

2. Muhajir, A. Syarah Al-Waraqat fi Ushul Al-Fiqh: Memahami Kaidah Asasi Hukum Islam. Qaf Media Kreativa; 2022 June. Informasi terkait buku bisa dicek di sini.

Product design and user experience do not always go hand in hand. When it happens, an organization or a company has wasted their money and their time developing a product that users do not want to use.

Every time I am asked about “What is the benefit of measuring UX (user experience) of my product?” I will answer, “It is not about money. It is about how you create more engagement with your customers. It is a part of making your customers happy and turning curiosity into loyalty.”

If you’ve ever depressed when using a digital product — whether that is a mobile app or a website — you’re not alone. I am one among several other researchers and technologists who have a big concern about this. Any product, whether it is aimed to be commercialized or not, should be improving our life, helps us, makes us easier to solve our task at hand, and even better: giving us a new hope for a better life.

An organization — whether for profit or not — should think about creating a product that stimulates more engagement from users while helping users to solve their tasks at hand.

However, many products seem to be developed based on what companies, organizations, or developers think about us. Most of the time, this is a wrong way to develop a product. User experience (UX) research seems to be treated as a second class citizen in a product development stage. There are at least three reasons to justify my argument:

First, the user centered design (UCD) concept is not the first thing to come in mind during planning a product development. On the other hand, a product should be developed for users, or let’s say: customers — not for the developers. Swinscoe (2016) explains that some firms fail because they bring too much attention to their own products or services while they disconnect themselves from their customers. As a result, they waste their money and time developing a product that customers do not want to use.

Organizations that receive money from government and are responsible to develop public services are prone to this problem. Even worse, some organizations are measured by how many KPIs they can achieve within a year. Sadly, the KPIs include development of digital products such as information systems or mobile apps. As a result, they just focus their attention on how to achieve their own KPIs — making as many systems as possible — not to make the whole services work better. KPIs should be used as indicators, not goals. When KPIs are turned into goals, KPIs turn to poison (Marr, 2019).

Second, user experience (UX) is an intangible stuff, not a visible product that you can show off to your stakeholders like a website or a mobile app. You won’t say to your investor that you have created a specific user experience. Yes, you do not create it. You just make a design for a specific user experience. Take a similar analogy, you won’t say to your customer that you create a user experience for them. You WILL say that you have a dedicated product to them.

Since UX is an intangible stuff, it is difficult to define a specific UX criteria and UX measures of a product as success criteria during early stage of product development. In my experience, finding a right design to create specific user experience is an iterative process. You need to dive deeper into the process and you need to bring empathy to what your customers say. Consequently, making this process looks as rigid as possible is not an easy task.

As a practical example, have you ever heard a project proposal that includes a specific UX measure as success criteria during a specific time frame? I will bet, no. If you find out, it is probably 1 out of 1000 proposals. Normally, UX testing is included as a small part in the product evaluation stage, not the whole development process. This is because UX is intangible stuff, so people do not see that user centered design (UCD) is as important as the whole development process itself.

Third, you will find it difficult to directly convert the results of UX research to a measurable profit. If you develop a website or a mobile app, it is very easy to measure how much you will earn from this product or services that are offered by your product. If you create a design for a particular experience and then measure the UX, you won’t know how much you will earn if you achieve a specific target of UX measure. Remember, it is intangible. The results may differ from what you’ve thought before.

What UX research can offer to your organization?

I am an academician as well as a practitioner in UX research. I have worked with more than 60 national and international brands of South East Asian, US, Japanese, and Europeans companies. I helped them to get their digital product better through delicate research on customers’ visual perception. Every time I was asked about “What is the benefit of measuring UX of my product?” I would answer, “It is not about money. It is about how you create more engagement with your customers. It is a part of making your customers happy and turning curiosity into loyalty.”

Some insights that UX research may give you and your business include:

  1. You will know whether improvement in the product design is worth to do.
  2. You will know whether your customers will have more engagement with your product compared with your competitor’s product.
  3. You will know how much cognitive effort that users have to spend to use your product. Bigger means a straight “No” for users.
  4. You will know whether your customers have to invest a steep learning curve to get used to with your product.
  5. Tullis and Albert (2013) also said that UX research is useful to find the most important usability problem in your product. Fixing your usability problem certainly helps your users to solve their tasks faster and improves their productivity.
  6. Finally, you will know whether users will recommend your product to their peers. Remember, the strongest marketing strategy is words-of-mouth. Thus, getting a good recommendation is important to bring more values to your business.

My question is then, “Do you still think that UX research should be treated as a second class citizen in a product development stage?” I’d love to hear your answer!

References:

Marr, B. (2019). Caution: When KPIs Turn to Poison. [Online: https://www.bernardmarr.com/default.asp?contentID=1007]

Swinscoe, A. (2016). How to Wow: 68 Effortless Ways to Make Every Customer Experience Amazing. Pearson: Harlow.

Tullis, T. and Albert, B. (2013). Measuring The User Experience: Collecting, Analyzing, and Presenting Usability Metrics. 2nd Ed. Morgan Kaufmann: Waltham, MA.

*Artikel asli dimuat di FB Page Dr. Sunu Wibirama*

Saat-saat mendekati ujian akhir semester begini, para mahasiswa biasanya mulai sibuk mencari dosennya, menanyakan slide kuliah, modul kuliah, dan lain-lainnya. Dosennya juga pura-pura sibuk, kadang telat menjawab, kadang malah menjawab, “Lho di buku kan sudah ada, ‘ngapain pakai slide?”. Bahkan ketika ada mahasiswa yang sangat tertarik dengan materi kuliah, sang dosen menjawab lagi, “Kok tidak di kelas tanyanya? Ini ‘kan di luar kelas. Saya punya pekerjaan lain”.

Salah satu kegiatan seminar kami di lab bersama salah seorang rekan dosen. Grup riset kami beranggotakan adik-adik mahasiswa yang memiliki rasa ingin tahu sangat tinggi. Semua bermula dari belajar di kelas, berujung di lab. Membangun rasa ingin tahu (curiosity) itu penting, sangat penting. Dengannya, inovasi akan tercipta.

Pendidikan tinggi kita tidak mencerdaskan karena memang sistem di negara kita tidak dibuat untuk menjadikan seseorang itu cerdas. Sistem keuangan di negara kita tidak dibuat untuk fleksibel terhadap inovasi, bahkan untuk membiayai lembaga yang core business-nya adalah “learning and innovation”, sistem keuangan kita masih sangat kaku. Sistem kita malah dibuat untuk sekedar memenuhi tuntutan luaran yang tercantum di Standar Biaya Umum (SBU) atau rancangan anggaran, or whatever you name it. Hal ini — maaf — menjadi penyakit bawaan di universitas-universitas terkenal besutan pemerintah. Mau contoh nyata?

Berapa biaya yang diperlukan untuk memenuhi curiosity (rasa ingin tahu)? Nol, karena rasa ingin tahu itu tidak ada SBU-nya. Jika mau dibiayai harus ada barangnya dan harus membeli barang. Bagaimana dengan mereka yang risetnya matematika murni? Apakah cukup dibelikan kertas dan pensil?

Berapa biaya yang dikeluarkan jika dalam satu kelas ada lebih dari dua asisten kuliah? Misal: asisten yang satu fokus pada ujian-ujian (assessment), sementara yang satunya lagi sibuk mempersiapkan “perangkat demonstrasi” atau “studi kasus” riil yang terkait dengan kuliah. Nol, karena jarang ada kuliah dengan anggaran pembiayaan asisten lebih dari satu orang. Kalaupun ada, tentu “disiasati dengan SBU yang lain” alias berbohong. Dosen seharusnya sibuk menyiapkan kuliah yang menarik, bukan sibuk menyiasati SBU.

Berapa biaya yang dibutuhkan untuk membeli “teaching devices” atau alat peraga yang itu berguna di kelas? Saya tidak tahu, tapi saya rasa nol juga di kebanyakan universitas. Apalagi untuk urusan mengganti kursi, meja, cat kelas, dan perangkat di dalam kelas supaya lebih “fleksibel” dan mendukung konsep flipped learning, diskusi kelompok, atau kelas-kelas yang interaktif. Saya kira para pengurus universitas akan puyeng tujuh turunan memikirkan ini. Mungkin harus menunggu tahun anggaran baru, dan mahasiswa yang diajar sudah lulus saat kelas itu selesai diperbaiki dan teaching devices-nya terbeli.

Berapa biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki kemampuan dosen (bringing the professors to the next level) dengan memberikan keleluasaan dosen-dosen untuk mengakses buku-buku “non-textbook”, buku-buku kontemporer, mengikuti training pedagogi di luar negeri, dan masih banyak lagi? Saya melihat di beberapa universitas sudah ada, tapi sebagian besar universitas tidak memikirkan hal ini. Nol. Bahkan saya belum melihat ada universitas negeri yang khusus mendirikan “training center” untuk para dosen supaya kualitas mereka terus meningkat (correct me if i am wrong).

Akibat keterbatasan-keterbatasan ini, mustahil muncul inovasi dalam delivery atau cara mengajar, atau bahkan peningkatan ilmu dari para dosen. Akibatnya hampir pasti, pendidikan tinggi kita ketinggalan. Terseok-seok. Hampir semua rekan dosen yang saya kenal pasti mengatakan “malas mengubah slide presentasi-nya” atau “malas membaca buku baru” untuk kuliah-kuliah yang ia ajar. Mengapa bisa begitu? Bukankah core business universitas adalah belajar? Do we get paid for learning and teaching what we have learnt? What’s wrong? Parahnya lagi, beberapa dosen marah-marah jika ada mahasiswa yang bertanya materi kuliah di luar kelas. Really, that behavior kills innovation. Bagaimana kita mau menyuruh mahasiswa kita untuk baca textbook, kalau kita sebagai dosen juga malas? Jangankan membaca, kepikiran saja tidak pernah!

Saya ingin sedikit bercerita, bahwa mengajar itu butuh dedikasi. Dari mana datangnya dedikasi? Dari passion. Galileo Galilei mengatakan, “Passion is the genesis of genius”. Jika Anda memiliki passion pada suatu bidang, Anda rela untuk mati-matian belajar, mengulik bidang tersebut, sampai hal tersebut menjadi satu keunggulan Anda. Anda menjadi seorang yang ahli di bidang itu. Saya belum melihat ada sebuah upaya sistematis dari pemerintah untuk menumbuhkan dan memupuk “passion” mengajar para dosen, sehingga apa yang kita lihat sekarang adalah pendidikan berbasis “income” (maaf ini sekedar “joke” saja, kalau income-nya kecil jangan berharap kualitas dosen se-level Oxford University).

Lalu apa solusinya? Saya tidak tahu dan merasa tidak harus memikirkan solusinya karena saya tidak dibayar untuk itu. Ada orang lain se-level rektor, dirjen, atau menteri yang sudah digaji oleh negara untuk berpikir tentang itu. Meski demikian, saya ingin sedikit bercerita apa hal-hal praktis yang saya lakukan. Saya tetap berusaha berdedikasi dengan cara saya sendiri. Bentuknya sederhana, tapi selama 10 tahun lebih saya mengajar mahasiswa, hal-hal di bawah ini saya lakukan:

1. Beri kebebasan dan ruang pada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, misal: menentukan sendiri tipe tugas untuk mereka (grup / individu), menentukan sendiri pengurus kelasnya, menentukan sendiri kelompok grup diskusinya. Dengan demikian, ada “sense of belonging” pada kuliah yang mereka hadiri. Hadir kuliah itu kebutuhan, bukan paksaan. Kita tumbuhkan bahwa kuliah itu kebutuhan mereka dan menghadirkan partisipasi mereka untuk “mengatur kelas” menjadi salah satu cara.

2. Saya selalu mulai kuliah dengan pertanyaan: “Apa kalian tahu manfaat dari mata kuliah ini dan di mana kira-kira Anda akan menggunakannya?” Kita tidak sedang bicara filosofi ilmu yang muluk-muluk, tapi kita sedang menghubungkan sesuatu yang abstrak (materi kuliah) dengan sesuatu yang mereka jumpai dalam hidup mereka dan “tangible” (aplikasi, implementasi dari kuliah, pekerjaan yang menggunakan ilmu dari mata kuliah tersebut). Dengan begitu, mereka memiliki “aim” / “goal” yang lebih besar daripada sekedar dapat A atau B di nilai mereka. Simon Sinek dalam buku “Start with WHY” mengatakan, “You have to give them WHY before explaining HOW and WHAT they should do”. Saya ingin memberikan WHY factor kepada anak-anak di kelas saya, sehingga mereka tergerak untuk belajar bukan karena ujian akhir semester.

3. Tips berikutnya: saya banyak membawa alat lab, sensor, dan berbagai “prakarya” lain ke kelas. Motivasi saya sebenarnya lebih tinggi dari sekedar menciptakan “exciting class”. Saya melakukan rekruitmen untuk tim riset. Tim riset kami di lab diisi oleh mahasiswa yang “highly motivated”. Saya butuh orang-orang yang mau diajak “lari” untuk belajar pengetahuan baru. Siap menjawab email dan responsif jika diajak diskusi riset. Bekalnya? Dasar keilmuan cukup, tidak usah terlalu jenius, tapi mau melakukan riset dan “driven by passion and curiosity”. Kalau dilempar umpan “problem penelitian” di kelas, merekalah yang pertama kali berbinar matanya dan mengacungkan jari untuk bertanya.

4. Saya mengajarkan ke para mahasiswa untuk tidak langsung percaya dengan semua omongan saya di kelas. Bahkan beberapa kali saya menantang mereka untuk menyanggah saya. Saya ingin mereka belajar berpikir, tidak hanya membaca. Saya bukan termasuk dosen yang merasa “jatuh harga dirinya” jika ada mahasiswa yang kritis (asal sopan) di kelas. Justru anak-anak seperti inilah yang akan saya rekrut di tim riset.

5. Membangun rasa ingin tahu (curiosity) bisa dilakukan jika kita bisa mengambil benang merah antara materi kuliah dengan materi-materi riset. Saya banyak menyisipkan slide-slide hasil skripsi dan thesis kakak-kakak kelas. Saya tunjukkan manfaat dari satu materi kuliah. Misalnya, saat belajar correlation coefficient dalam statistika, saya akan tunjukkan skripsi yang memanfaatkan teknik “Template Matching” dalam tugas akhir bertema pengolahan citra.

Sekali lagi, itu lima cara yang saya lakukan. Saya tidak tahu dan belum mengukur secara kuantitatif apakah tips-tips seperti ini bisa memperbaiki kualitas pengajaran di kelas yang saya ampu. Mumpung Pak Menteri Nadiem Makarim adalah salah satu menteri yang mewakili generasi milenial, saya berharap beliau punya ide-ide cerdas untuk mengatasi hal-hal seperti ini. Ide saya mungkin tidak cerdas dan tidak meningkatkan kualitas pendidikan tinggi secara umum, tapi setidaknya saya memiliki “way out” untuk membuat kelas saya lebih berarti bagi adik-adik mahasiswa.

NB: Kalau tulisan ini mewakili suara hati rekan-rekan, silahkan dibagikan ke kolega lain. Perubahan besar dimulai dari aksi kecil dan kepedulian kita. Bisa jadi aksi kecil kita membawa perbaikan untuk masa depan pendidikan tinggi kita.

Jogja, 26 November 2019
Sunu Wibirama
Universitas Gadjah Mada

*Artikel asli dimuat di Facebook Page Dr. Sunu Wibirama

Pagi ini saya membaca satu berita yang menurut saya menjadi berita bagus untuk masyarakat umum. Dalam berita yang saya baca, Kemenristek berencana akan menggelar kursus coding massal bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang pendidikan SDM-nya.

Belajar coding (computer programming) cukup penting. Namun yang lebih penting dari coding adalah belajar memahami proses bisnis di balik coding dan logika komputasi untuk menyusun solusi berbasis program komputer.

Ide yang menurut saya cukup fenomenal — leap of faith — ini sebenarnya bukan program baru. Dalam dua tahun belakangan, saya terlibat sebagai mentor dalam program yang mirip yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo (Program Digital Talent Scholarship). Bedanya, program yang diadakan oleh Kominfo ini sedikit banyak menyasar pada mahasiswa atau lulusan sarjana yang memiliki latar belakang rekayasa (engineering) atau sains. Hal lain yang cukup berbeda adalah program Digital Talent Scholarship ini berasumsi bahwa peserta sudah memiliki kemampuan dasar coding.

Nah, jika coding ditawarkan untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang latar belakang pendidikan, benarkah coding akan menjadi satu-satunya solusi untuk memajukan ekonomi digital? Apa saja kira-kira masalah riil dalam implementasi program ini?

Sebagai computer scientist yang sudah melakukan coding sejak tahun 2004 (artinya sudah 15 tahun saya berurusan dengan computer programming), hanya semata-mata belajar coding tidak akan menyelesaikan masalah kesenjangan dalam ekonomi digital di Indonesia. Mengapa demikian? Computer programming atau coding itu hanya alat, bukan tujuan. Tujuan sebenarnya adalah memberikan solusi berbasis konsep komputasi untuk menyelesaikan masalah dan tidak membuat masalah baru dengan menambah stress pengguna solusi tersebut.

Lalu apa yang perlu dipelajari selain coding? Saya mengidentifikasi setidaknya ada empat hal pokok yang bisa dipelajari sebelum seseorang mempelajari computer programming (coding). Apapun latar belakang pendidikannya, empat hal di bawah ini penting dipelajari sebelum seseorang belajar computer programming secara serius.

[?] ?????? ???????? ??? ??????? ??????? ???????.
Sebagaimana yang saya sampaikan, coding adalah bagian kecil dari proses penyelesaian masalah. Nah, untuk menyelesaikan masalah ini, perlu pola berpikir yang komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek yang saling berinteraksi dalam proses bisnis tertentu (complex problem solving). Langkah-langkah penyelesaian masalah dengan mendesain solusi berbasis komputasi pun ada ilmunya (design thinking). Orang yang mengerti coding tapi tidak memiliki pengetahuan mendasar tentang design thinking dan complex problem solving ibarat orang yang memakai kaos dalam setelah memakai baju hem. Orang tersebut tahu cara memakai kaos dalam, tapi tidak mengerti bagaimana menempatkan kaos dalam dan hem dengan benar.

[?] ????????????? ????????.
Setelah mengerti bagaimana mendesain masalah, seorang programmer perlu tahu tentang computational thinking. Di Amerika Serikat dan sebagian sekolah di Australia, kurikulum sekolah dasar sudah memasukkan materi computational thinking ini. Apa itu computational thinking (CT)? CT adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana mendesain solusi dengan mempertimbangkan cara kerja komputer.

Apa saja materi-materi yang ada dalam bidang ilmu CT ini? Contoh materi CT paling sederhana adalah memahami bagaimana mendesain sebuah program komputer dengan diagram alir (flowchart). Contoh materi CT yang lain adalah memahami bagaimana komputer bekerja dengan logika komputasi (logic in computing). Selain itu, materi CT lain yang cukup penting adalah memahami kompleksitas algoritme (notasi big O dan kawan-kawannya). Jika sebuah program komputer berjalan dalam skala kecil, mungkin hal ini tidak menjadi masalah besar. Tapi jika program komputer tersebut berjalan di skala data dan proses bisnis yang besar, kompleksitas algoritme menjadi isu yang cukup penting. Ini artinya, belajar coding saja tidak cukup. Seorang programmer harus tahu pada skala apa perangkat lunak yang ia kembangkan akan diimplementasikan.

[?] ????? ?????? ??? ???????? ???????????.
Computer programming tidak semata-mata membuat solusi berbasis komputasi. Seorang programmer biasanya bekerja dalam tim. Pada saat bekerja dalam tim, kode-kode komputer yang ia tulis harus bisa dibaca oleh programmer lain, dengan standar penamaan yang baik serta tidak menimbulkan berbagai macam intepretasi terhadap kode program tersebut. Dokumentasi terhadap kode-kode program komputer tersebut juga harus mengikuti standar tertentu. Hal ini biasa disebut dengan clean coding.

Di sisi lain, membangun sebuah perangkat lunak untuk menyelesaikan masalah harus mengikuti kaidah-kaidah standar pengembangan perangkat lunak (software engineering). Kaidah-kaidah ini meliputi: bagaimana melakukan requirement gathering (user analysis), bagaimana menyusun use-case diagram (alur interaksi antara pengguna dan sistem), bagaimana melakukan validasi dan pengujian atas program komputer yang dibuat, bagaimana melakukan debugging, bagaimana melakukan implementasi perangkat lunak baru yang dikembangkan jika ada perangkat lunak lama yang sudah berjalan (existing software), dan masih banyak lagi.

[?] ?????-????? ???? ?????????? (??).
Terakhir, dan ini yang cukup penting tapi sering terlupa, seorang computer programmer harus belajar tentang dasar-dasar user experience (UX). Solusi berupa perangkat lunak tidak boleh menambah masalah dengan membuat pengguna perangkat lunak tersebut stress berat. UX adalah faktor yang tidak terlihat (intangible), tapi pengaruhnya sangat terasa jika perangkat lunak tersebut digunakan oleh pengguna awam untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Sudah terlalu banyak perangkat-perangkat lunak yang dikembangkan oleh berbagai organisasi maupun kantor gagal memenuhi kebutuhan penggunanya. Justru yang ada adalah perangkat lunak tersebut menambah beban kognitif penggunanya, yang pada akhirnya pengguna tidak mau dan enggan penggunakan perangkat lunak tersebut. Ini sudah saya tuliskan panjang lebar dalam sebuah artikel berbahasa Inggris di Medium.

Empat hal tadi perlu muncul jika pemerintah Indonesia benar-benar serius menggarap ekonomi digital. Saya berharap inisiatif keren ini dibarengi dengan implementasi yang keren juga di lapangan, supaya rakyat benar-benar percaya bahwa pajak yang mereka bayarkan setiap tahun memberi manfaat besar untuk mereka.

Sunu Wibirama
Universitas Gadjah Mada Indonesia
Facebook: Dr. Sunu Wibirama
Youtube: http://youtube.com/wibirama

We are investigating a non-invasive technique to interact with computers through presentation of dynamic stimulus. Instead of implementing fixational eye movements, we are developing a novel method for spontaneous interaction based on smooth pursuit eye movements. During 2018, one of our conference papers has been accepted for presentation:

Herlina , S. Wibirama, I. Ardiyanto, “Similarity Measures of Object Selection in Interactive Applications based on Smooth Pursuit Eye Movements”, submitted in International Conference on Information and Communications Technology (ICOIACT 2018).

More about our research can be found in:

R. A. Warman, S. Wibirama, A. Bejo, “Performance Comparison of Signal Processing Filters on Smooth Pursuit Eye Movements,” in The 2nd International Conference on Information Technology, Information Systems and Electrical Engineering (ICITISEE 2017), Yogyakarta 1-3 November 2017, pp. 111-115. (contact me if you want to see the pre-print version). 

 

 

Alhamdulillah, a part of our research project has been officially published in SPIE Proceedings. The full paper has been submitted to “Entertainment Computing” (Elsevier) and is undergoing peer-review process. We will inform you soon after the paper is published.

*Note: if you are interested to read the paper and you have difficulty with online access, please drop me an email to: sunu{at}ugm.ac.id. I will send you the manuscript version of the conference paper.

Link: http://proceedings.spiedigitallibrary.org/proceeding.aspx?articleid=2603048
Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=8m07G1Ykhes

Abstract:
Remote eye trackers with consumer price have been used for various applications on flat computer screen. On the other hand, 3D gaze tracking in physical environment has been useful for visualizing gaze behavior, robots controller, and assistive technology. Instead of using affordable remote eye trackers, 3D gaze tracking in physical environment has been performed using corporate-level head mounted eye trackers, limiting its practical usage to niche user. In this research, we propose a novel method to estimate 3D gaze using consumer-level remote eye tracker. We implement geometric approach to obtain 3D point of gaze from binocular lines-of-sight. Experimental results show that the proposed method yielded low errors of 3.47±3.02 cm, 3.02±1.34 cm, and 2.57±1.85 cm in X , Y , and Z dimensions, respectively. The proposed approach may be used as a starting point for designing interaction method in 3D physical environment.

IMG_8245

Belum lama ini saya berkesempatan menguji coba EyeTribe Tracker dan OGAMA versi 5.0 (Open Gaze and Mouse Analyzer) untuk fixation analysis dengan MacBook Air 13 Inch (Awal 2014) berprosesor 1.4 GHz Intel Core i5, RAM 4GB, dan OSX Yosemite (64-bit). Proses pengujian dilakukan dengan Parallels Desktop 10 (yes, saya harus menjalankan Windows 10, karena OGAMA saat ini hanya dikembangkan di atas platform Windows OS).

Pada awalnya, EyeTribe tidak dapat terkoneksi dengan baik ke EyeTribe Server. Saat itu saya menduga, ada konflik antara Windows dan Mac dalam mendedikasikan resource USB ke perangkat ini. Masalah ini bisa saya selesaikan dengan melakukan early mapping port USB yang digunakan oleh EyeTribe dengan melakukan konfigurasi di Parallels Desktop, sehingga pada saat EyeTribe dikoneksikan ke port USB, Yosemite OS akan mendelegasikan resource port tersebut ke Parallels Desktop sepenuhnya.

Permasalahan kedua adalah instalasi OGAMA versi 5. OGAMA versi baru ini menggunakan database SQLite karena berbagai permasalahan yang muncul pada versi sebelumnya saat software ini digunakan bersama Microsoft SQL Server. Saya cukup mengapresiasi perubahan signifikan ini. Instalasi OGAMA menjadi lebih sederhana dan koneksi database bisa dilakukan tanpa harus melakukan konfigurasi khusus, sebagaimana OGAMA versi sebelumnya. Permasalahan muncul karena SQLite perlu di-install dengan cara yang cukup ‘tradisional’, seperti menggunakan command prompt dan setting path pada Windows OS (hal yang mungkin tidak terlalu mudah dilakukan oleh orang dengan background non-IT). Tutorial yang ada di internet bagi saya sudah cukup memadai, namun proses setting path pada Windows edisi terbaru agak merepotkan :).

IMG_8246

Setelah 30 menit proses instalasi dan konfigurasi, saya akhirnya berhasil menjalankan EyeTribe dan OGAMA dengan baik. Saya juga mencoba mendisain sebuah slideshow singkat dengan tiga gambar untuk pengambilan data gaze fixation. Hasilnya cukup memuaskan. Oya, EyeTribe lebih robust mendeteksi bola mata dibalik kacamata bila dibandingkan dengan produk low-cost eye tracker lainnya.

Jadi, jika Anda memiliki bekal ilmu UX dan gaze analysis yang cukup, saya pikir tidak ada salahnya mencoba EyeTribe dan OGAMA versi terbaru di laptop Anda :-)

Dr. Sunu has written a short note about usability and eye tracking.
You can read his note in this page.

Rekaman Seminar Online ISTECS Jepang berjudul “Eye Tracking dan Aplikasinya” yang diselenggarakan oleh WG-IEE ISTECS Jepang pada hari Sabtu, 15 Februari 2014.

 

Eye tracking adalah aplikasi yang kaya dengan implementasi. Selain sebagai alat antarmuka manusia dan komputer, eye tracking juga memiliki potensi yang sangat besar sebagai perangkat asistif untuk membantu para difabel dalam kehidupan sehari-harinya. Di sisi lain, beberapa peneliti juga menggunakan eye tracking sebagai alat untuk mendeteksi vertigo. Bagaimanakah sebenarnya aplikasi eye tracking di dunia kesehatan? Apa teknologi yang ada di balik eye tracking ? Bagaimana cara memulai penelitian di bidang eye tracking ?

Saya berkesempatan untuk menyampaikan sedikit paparan singkat mengenai eye tracking dan penelitian yang saya lakukan sejak tahun 2008 hingga saat ini dalam seminar online ISTECS. Alhamdulillah acara berjalan lancar dengan panduan Sdr. Abdur Rohman (Ibaraki University, Jepang), Sdr. M. Reza Kahar Aziz (Japan Advanced Institute of Science and Technology), Sdr. Radon Dhelika (Tokyo Institute of Technology), Dr. A’an Johan Wahyudi (Tsukuba University), dan Dr. M. Rasyid Aqmar (Osaka University, Jepang).

Berikut video presentasi yang direkam selama acara dengan Google Hangout:

eye_tracker_sunu

Gb. 1Penulis melakukan uji kalibrasi gaze tracker di laboratorium 
Universitas Tokai, Jepang (musim dingin tahun 2011).

Dengan banyaknya jenis eye tracker, baik yang dikembangkan di laboratorium maupun produk komersial, tentu akan terbersit pertanyaan saat kita ingin memulai penelitian eye tracking: “produk yang manakah yang bisa saya gunakan? berapakah frekuensi sampling minimal dari kamera eye tracker yang bagus untuk penelitian saya?”

Dalam buku “Eye Tracking: A Comprehensive Guide to Method and Measures” [1], Holmqvist et al. menjelaskan tentang definisi frekuensi sampling dan klasifikasi eye tracker berdasarkan frekuensi sampling-nya. Frekuensi sampling (FS) adalah salah satu tolok ukur reliabilitas eye tracker untuk merekam apa yang sering disebut dengan gaze data. Manusia mampu memproduksi enam gerakan mata dengan durasi dan kecepatan yang berbeda. Macam-macam gerakan mata dari yang tercepat sampai yang terlambat adalah: Read more about % »

Page 1 of 2:1 2 »